Penulis: admin
Watch “Circular Economy & Sustainable Development Goals – Ekonomi Sirkular & Tuj Pembangunan Berkelanjutan” on YouTube
Beranikah anda mencintai?
Ah, cinta romantis –
indah dan memabukkan,
mematahkan hati dan merusak jiwa,
sering pada saat bersamaan.
Mengapa kita memilih melewati
hal yang memeras emosi?
Apakah cinta membuat kehidupan lebih
bermakna
ataukah hanya pelarian dari
kesendirian dan penderitaan?
Apakah cinta hanya kedok untuk
gairah seksual kita,
atau trik biologis untuk membuat
kita berkembang biak?
Hanya itukah yang kita butuh?
Apakah kita membutuhkannya?
Jika cinta romantis memiliki
tujuan,
baik sains maupun psikologi belum
menemukannya,
Tapi, seiring berjalan
sejarah,
beberapa filsuf kesayangan kita
telah mengemukakan teori menarik,
Cinta membuat kita utuh, lagi.
Filsuf Yunani Kuno, Plato
mengeksplorasi ide mengapa kita
mencintai untuk menjadi sempurna,
Dalam “Simposium”-nya, ia menulis
tentang acara makan,
di kediaman Aristofanes,
penulis drama komedi,
menjamu para tamu dengan
cerita berikut:
manusia dulu makhluk bertangan
empat, berkaki empat, dan bermuka dua.
Satu hari, mereka membuat dewa murka,
dan Zeus membelah mereka menjadi dua.
Sejak itu, setiap orang kehilangan
separuh dirinya.
Cinta adalah keinginan mencari belahan
jiwa yang membuat kita utuh lagi,
atau paling tidak, itulah yang Plato
pikir apa yang ia katakan di pesta.
Cinta mengelabui kita untuk
beranak.
Lama kemudian, filsuf German,
arthur Schopenhauer
menyatakan bahwa cinta yang didasarkan
hasrat seksual
adalah ilusi gairah.
Ia mengatakan bahwa kita mencintai
karena hasrat memacu kita percaya
bahwa orang tersebut akan membuat
kita bahagia, tapi kita sangat keliru.
Alam menjebak kita untuk
berkembang biak,
dan perpaduan cinta yang kita cari
terwujud dalam anak.
Ketika hasrat seksual kita terpuaskan,
kita terlempar kembali ke
eksistensi kita yang sengsara,
dan kita hanya berhasil
mempertahankan spesies
dan meneruskan siklus
kerja keras manusia.
Sepertinya ada yang butuh pelukan,
Cinta adalah pelarian dari
kesendirian kita.
Menurut pemenang Nobel, filsuf Inggris,
Bertrand Russell,
kita mencintai untuk memuaskan hasrat
fisik dan psikologis kita.
Manusia dirancang untuk
berkembang biak,
namun tanpa cinta yang
bergairah,
seks tidak memuaskan.
Ketakutan kita akan dunia dingin dan
kejam merayu kita membangun kulit keras
untuk melindungi dan mengisolasi
diri.
Kesenangan cinta, keintiman, dan
kehangatan membantu kita
melupakan ketakutan akan dunia,
lepas dari kulit kesendirian kita,
dan lebih terlibat dalam hidup.
Cinta memperkaya keutuhan kita,
menjadi hal terbaik dalam hidup.
Cinta adalah derita yang menyesatkan.
Siddhārta Gautama,
yang dikenal sebagai Buddha atau
Sang Tercerahkan,
mungkin punya argumen menarik
dengan Russell.
Buddha mengatakan bahwa kita mencintai
karena mencoba memuaskan hasrat dasar.
Tetapi, hasrat kita itu kekurangan,
dan ketergantungan, bahkan cinta romantis,
adalah sumber utama penderitaan.
Untung, Buddha menemukan
delapan jalan kebenaran,
semacam program untuk memadamkan
bara nafsu
agar kita dapat mencapai Nirwana,
keadaan penuh damai, kejelasan,
kebijakan, dan belas kasih.
Penulis novel Cao Xueqin menggambarkan
sentimen Buddha ini
dalam salah satu novel klasik hebat
Cina, bahwa cinta itu bodoh,
“Impian Paviliun Merah.”
Salah satu jalan ceritanya, Jia Rui
jatuh cinta kepada Xi-feng
yang mengecoh dan mempermalukannya.
Ia hancur oleh rasa cinta dan benci
yang berlawanan,
lalu seorang penganut Taoisme memberi
cermin ajaib yang dapat menyembuhkannya
selama ia tidak berkaca.
Tetapi tentu, ia berkaca.
Ia meihat Xi-feng.
Jiwanya masuk ke cermin
dan ia terseret oleh besi rantai
hingga mati.
Tidak semua Buddhis berpikir demikian
mengenai cinta romantis dan erotis,
tapi pesan dari cerita ini
adalah ketergantungan mengundang
tragedi,
dan seperti cermin ajaib
hal itu harus dihindari.
Cinta membuat kita melewati batas diri.
Mari kita akhiri dengan hal yang lebih
positif.
Filsuf Prancis, Simone de Beauvoir
menyatakan cinta sebagai hasrat
untuk bersatu dengan yang lain
dan merasuki hidup kita
dengan makna.
Tetapi, dia tidak memperhatikan
alasan kita mencintai
dan lebih tertarik dengan bagaimana
kita dapat mencintai lebih baik.
Ia melihat masalah dalam cinta
romantis tradisional
yang dapat menjadi begitu menarik,
bahwa kita tergoda menjadikannya
alasan tunggal keberadaan kita.
Tetapi, ketergantungan yang
menjustifikasi eksistensi kita
dengan mudah memicu rasa bosan
dan permainan kuasa.
Untuk menghindari jebakan ini, Beauvoir
menyarankan cinta apa adanya,
yang lebih mirip persahabatan erat.
Pasangan saling menopang dalam
pencarian diri,
saling meraih diri,
dan memperkaya hidup serta dunia
mereka bersama.
Tapi kita mungkin tak akan tahu
alasan kita mencintai,
kita bisa yakin bahwa cinta
seperti roller coaster.
Menakutkan dan menyenangkan
Membuat menderita
dan membuat kita melambung.
Mungkin kita kehilangan diri.
Mungkin kita menemukan diri.
Mungkin mematahkan hati,
atau mungkin hal terbaik
dalam hidup.
Beranikah Anda mencintai?
Watch “Resep Kebahagiaan (Pembahasan Ilmiah)” on YouTube
Watch “Resep Kebahagiaan (Pembahasan Ilmiah)” on YouTube