Pernyataan Cinta – Kidung Cinta Jalaluddin Rumi

Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata
Kusimpan kasih-Mu dalam dada
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu
Segera saja bagai duri bakarlah aku

Meskipun aku diam tenang bagai ikan
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku
Tariklah misaiku ke dekat-Mu

Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu

Bagai unta memahah biak makanannya
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata

Aku bagai benih di bawah tanah
Aku menanti tanda musim semi
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi…

Iklan

Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai – Kidung Cinta Jalaluddin Rumi

Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup
Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung Pada Hari Perhitungan nanti

Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesadaran telah turun dari langit dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari

Mereka merupakan bintang-bintang di langit agama yang dikirim dari langit ke bumi
Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.

Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan
Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira, bagaikan sekumpulan kebahagiaan

Tetapi wahai bunga Ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ?
Sang Lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati.
Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan :
“Bukankah Aku ini Rabbmu ?”

“Berkata-katalah yang baik, atau diamlah”

Sudah genap lima bulan sejak terakhir aku menuliskan sesuatu ke catatan kecilku ini. Terkadang memang hal itu berlangsung tanpa kusadari, walau untuk kasus kali ini – semua ini berlangsung dengan penuh kesadaran.

“Berkata-katalah yang baik, atau diamlah”

Demikianlah kira-kira ucapan junjunganku Baginda Rasulullah Muhammad terkait dengan bertutur kata. Aku mencoba menerapkannya dalam hal ini. Menurutku lebih bermanfaat jika aku diam, sementara dunia di sekelilingku menyuarakan ribuan kata.

Masih dapat dirasakan dengan jelas bagaimana timeline sosial media beberapa bulan belakangan ini begitu “panas” dengan cacian, makian dan sindiran karena efek pilpres. Juga tidak kalah gencarnya berita perang dagang antara USA dan China, isu Brexit, penembakan jamaah masjid di Selandia Baru, dan lain-lain. Semua fenomena di luar diri yang berdampak terhadap perilaku kata-kata kita terhadap sesama.
Tanpa terasa, kesantunan sudah berangsur pudar. Melahirkan keberingasan, keganasan, kengerian yang tersaji dalam kata-kata, dalam tulisan.

Tidak, aku bukanlah seorang malaikat. Bukan manusia suci yang tanpa dosa. Hanya seorang biasa yang mencoba untuk terus berjuang memilih dan memilah mana hal-hal yang diridhoi-Nya, untuk berjuang mendapatkan cinta-Nya.

Belakangan ini juga aku merasakan pengalaman yang luar biasa. Pengalaman langsung dimana sejatinya tidak ada kekuasaan pun dalam diri ini, dalam diri orang lain, selain kuasa-Nya. Betapa apa yang kita inginkan tidak selamanya akan kita dapatkan, dan bukan berarti itu hal yang buruk. Karena hakikatnya kita tidak mengetahui apa dan mana yang terbaik untuk diri kita.

Mungkin ini pula yang dirasakan oleh Umar bin Khattab saat berujar, “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku”.
Kita tidak mengetahui apapun. Kita hanya berpikir bahwa kita mengetahui sesuatu, sementara pengetahuan kita tentang sesuatu itu amatlah terbatas.

Beberapa bulan ini sebagian besar waktu aku manfaatkan untuk mencoba lebih mempersiapkan diri akan ajalku yang aku tidak pernah tahu akan expire kapan. Berkaca, mencari kesalahan dan kekurangan diri, mencoba memperbaiki yang mampu aku perbaiki. Sembari mensyukuri hal-hal yang sepatutnya lebih mampu kusyukuri selama ini.

Ada beberapa buku yang alhamdulillah telah aku baca selama periode perenunganku ini. Diantaranya adalah Terjemah Kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, Terjemah Kitab Ringkasan Ihya’ Ulumuddin dan The Alchemy of Happiness karya Imam Ghazali, Terjemah Kitab Al-Muwatha karya Imam Malik, Terjemah Kitab Kebijaksanaan Orang-orang Gila karya Abu al-Qasim an-Naisaburi dan beberapa buku klasik lainnya. Umumnya adalah kitab-kitab klasik karya ulama-ulama Islam terdahulu, walau sempat pula aku membaca buku The Robots Are Coming!: The Future of Jobs in the Age of Automation karya Andres Oppenheimer, yang merupakan oleh-oleh dari guru pariwisataku saat lawatan bisnisnya ke Spanyol pada awal April lalu.

Semua bacaan ini pada akhirnya justru membuatku semakin menyadari betapa aku tidak mengetahui setitikpun tentang dunia ini, dan sebaliknya semakin mengagumi Sang Pemilik Ilmu.

Setidaknya saat ini aku menyimpulkan, bahwa hakikat ilmu itu bukan seberapa panjang titel akademikmu. Melainkan seberapa banyak manfaat yang kamu bisa bagikan dengan ilmu yang kamu kuasai.
Dan aku, masih jauh dari seorang ahli sedekah.

Mind and Heart

01-The-Balance-Christian-Schloevery-Surreal-Paintings-Balance-of-Mind-and-Heart-www-designstack-co

Man lives from his heart. Humans live in their hearts. The heart is a long journey. Humans follow them, to their satisfaction, their welfare, their happiness, and their God.

Various creatures prevented him, sometimes he hindered it. The heart is the center of the will that makes people laugh and cry, sad and happy, content or desperate.

A man wanders in his heart, the mind helps him, the mind must work as hard as it can, the mind needs to revolutionize, the mind cannot sleep, the mind must be driven faster than the speed of light.

The heart does not always understand exactly what he wants. He can only be oriented to his God to get the clarity and accuracy of his will.

The mind helps to get that clarity and determination, but the mind cannot explain anything about its God.

The mind serves his heart, the heart always asks the Lord. Before God, the mind is darkness and ignorance.

If the mind wants to reach its Lord, it conforms to the law of the dimensions of its heart. If not, the mind will offer damage, entrapment, and boomerang.

If the mind is only able to offer things to its heart, then the heart will be exposed to a vacuum, and the mind itself widens the distance from its Lord.

The body will melt to the ground. The mind will dissolve in time and space. The heart will melt in God.

If the degree of the heart is lowered to the ground, if the level of mind is preoccupied with chunks of metal, then in the certainty of melting into God, they will only be ready to become piles of wood, which are burned not by God’s love, but by fire.

If the heart is only guided by the body, then it will only be scared by the age limit, by death, by poverty, by ignorance.

If the mind is only taking care of the body, if the mind does not know the end, it will change greed nature, will bloom with pride, then be shocked and disappointed by everything that is produced.

I am crazy

I’m crazy for praise
I’m mad of possessions
I’m a wealth maniac
I’m always hungry for recognition

And I’m numb
If you don’t get respect
I slept a tenth of the time
I do any fasting
Since my childhood

I hugged three thousand people every night
I plant love across the country
My hands are muddy
I let my nose sniff
Dirt and garbage from the world

I poison the poison
Thousands of people stuck swords
To my chest, and I immerse myself
My life is unclean in the world

Because not a day is not even one night
I once left the occupants

But my heart is empty of life
What I’m looking for is praise, possessions
Wealth and respect
From you, O my beloved
Only from you

If anyone else praises me
Kissing my hand and hugging my body
Surely that is because they thought
This is me